Sebagai
jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis,
ekologis, dan sosial yang penting. Kayu jati jawa telah
dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun
rumah dan alat pertanian seperti mebel jati minimalis. Sampai dengan
masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati
sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu tahun’. Artinya,
kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.
Penanaman bibit pohon Jati Jepara abad ke-19 |
Selain
itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang.
Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun
pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti mebel jati pasuruan, Tegal, Juwana,
Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling kenal berada di
Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal
abad ke-16.
VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) bahkan sedemikian tertarik pada “emas
hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa, tepatnya
di Jepara pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui
Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan jati
akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang
saat itu sedang mencapai puncak keemasannya.
Para pekerja sedang membawa hasil kayu jati |
Di
pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang gambar jati secara
lebih modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan
Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan
mebel jati asli yang luas. VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk
menyerahkan jati kepada mereka dalam jumlah tertentu
yang besar. Melalui sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan
penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat
dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan
sebentuk kerja paksa.
VOC
kemudian memboyong pulang gelondongan mebel jati jepara jawa ke Amsterdam
dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang menjadi
pusat-pusat industri kapal kelas dunia. Di pantai utara Jawa sendiri,
galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan abad
ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan
Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagi pula, saat itu kapal lebih banyak
dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.
Namun,
pasca kemerdekaan negeri ini, mebel jati blora jawa masih sangat menguntungkan.
Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor
kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640
USD/m3.
Pada
1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena kebutuhan
industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun demikian, Perhutani
mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan semua jenis kayu
pada 1999 berasal dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri. Pada masa yang
sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu berasal dari
produk mebel jati jepara minimalis, terutama yang berbentuk garden
furniture (mebel taman).
Hasil produk mebel jati jepara susan gallery |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar